Oleh: Susi Rio Panjaitan
Anak autis adalah anak yang memiliki cara berpikir, berkomunikasi, dan berinteraksi sosial yang berbeda dari kebanyakan anak lain. Kondisi ini disebut Autism Spectrum Disorder (ASD), atau gangguan spektrum autisme, yaitu perbedaan dalam cara otak bekerja dan memproses informasi. Tidak semua anak autis sama, karena spektrum autisme sangat luas. Namun, beberapa ciri yang sering tampak pada mereka antara lain: kesulitan dalam berinteraksi sosial; perbedaan dalam cara berkomunikasi; adanya perilaku yang berulang-ulang; memiliki minat atau ketertarikan yang sangat kuat pada benda atau topik tertentu; sangat sensitif terhadap suara, cahaya, atau sentuhan; dan membutuhkan rutinitas yang konsisten.
Anak autis sering kali menjadi sasaran perundungan (bullying) di sekolah atau lingkungan sosial. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka rentan menjadi korban perundungan (bullying) atau kekerasan, antara lain:
Perbedaan Cara Berkomunikasi dan Bersosialisasi
Anak autis mengalami kesulitan dalam memahami ekspresi wajah, nada suara, atau isyarat sosial yang tidak diucapkan secara langsung. Mereka tidak tahu kapan waktunya berbicara, bagaimana menanggapi candaan, atau bagaimana bergabung dalam permainan. Bermain dalam kelompok, mengikuti aturan sosial, atau menyesuaikan diri merupakan tantangan besar bagi mereka. Karena tampak “berbeda” atau “tidak mengikuti arus,” anak autis dijauhi, diejek, atau diperlakukan dengan tidak baik.
Tingkah Laku yang Tampak “Berbeda”
Pada umumnya anak autis memiliki perilaku berulang. Misalnya: menggoyang-goyangkan tangan, menutup telinga, tertawa sendiri, berjalan bolak-balik, melompat-lompat, berlari-lari tanpa tujuan yang jelas atau berbicara sendiri. Perilaku ini adalah cara mereka menenangkan diri saat merasa cemas atau kewalahan terhadap rangsangan dari luar. Sayangnya, anak lain yang tidak paham bisa menertawakan atau meniru perilaku itu sebagai bahan olok-olok.
Sensitivitas yang Tinggi terhadap Lingkungan
Anak autis lebih peka terhadap suara, cahaya, sentuhan, atau keramaian dibanding anak lain. Mereka bisa bereaksi kuat terhadap hal tersebut jika merasa terganggu. Misalnya: menjerit, menutup telinga, atau menangis. Teman-teman yang tidak mengerti sering malah memprovokasi agar anak autis bereaksi, lalu menjadikannya “hiburan” atau mengejek.
Kurangnya Pehamanan, Empati dan Penerimaan dari Lingkungan
Banyak anak (dan bahkan orang dewasa) tidak memahami apa itu autisme. Ketidaktahuan ini membuat sebagian orang bersikap tidak sabar, mengejek, tidak menerima, tidak empati, atau menjauh.
Kurangnya Perlindungan dan Pengawasan
Tidak semua sekolah memiliki sistem pengawasan atau pendidikan inklusif yang kuat. Guru bisa saja tidak sadar bahwa anak autis sedang di-bully secara halus. Misalnya: dijauhi, tidak diajak bermain, atau dijadikan bahan lelucon.
Dampak bullying terhadap anak autis bisa jauh lebih serius dibandingkan dengan anak lain karena mereka memiliki karakteristik sosial dan emosional yang berbeda. Pertama: Anak autis umumnya memiliki kepekaan tinggi terhadap perlakuan orang lain. Bullying dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan berlebihan (misalnya takut ke sekolah atau bertemu teman sebaya); depresi dan rasa rendah diri karena merasa “berbeda” atau tidak diterima; malu, bingung, atau merasa bersalah tanpa memahami mengapa mereka menjadi sasaran; menghindar dari lingkungan sosial; dan dalam kasus berat dapat muncul pikiran menyakiti diri sendiri bahkan bunuh diri. Kedua: Karena autisme yang disandangnya, anak autis sudah lebih dulu menghadapi tantangan dalam berinteraksi sosial. Ketika dibully mereka menjadi semakin menarik diri dari interaksi sosial; kemampuan komunikasi sosial seperti berbicara, berempati, membaca ekspresi wajah menjadi menurun; serta kepercayaan terhadap orang lain berkurang sehingga sulit membangun pertemanan yang sehat. Ketiga: Jika terjadi di sekolah, bullying dapat menyebabkan menurunnya motivasi belajar karena lingkungan terasa tidak aman; penurunan konsentrasi sehingga anak sulit memahami pelajaran; serta absensi tinggi atau menolak/tidak mau lagi ke sekolah. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berdampak pada rendahnya capaian akademik dan kepercayaan diri dalam belajar. Keempat Bullying bisa memicu gangguan perilaku pada anak autis, seperti: ledakan emosiatau penarikan diri ekstrem; regresi kemampuan yang sebelumnya sudah berkembang (misalnya kembali tidak mau berbicara); dan munculnya perilaku agresif atau destruktif, sebagai bentuk frustrasi yang tidak tersalurkan. Kelima: Jika tidak ditangani dengan tepat, bullying dapat menimbulkan gangguan stres pascatrauma (Post-Traumatic Stress Disorder-PTSD); kecenderungan isolasi sosial kronis di usia remaja dan dewasa; kesulitan dalam membangun relasi personal dan romantis; serta sulit beradaptasi di tempat kerja dan lingkungan sosial.
Rentannya anak autis menjadi korban bullying bukan karena kelemahan mereka, tetapi karena lingkungan belum cukup memahami dan menghargai perbedaan. Bullying terhadap anak autis bukan sekadar masalah sosial, tetapi juga ancaman serius terhadap kesejahteraan psikologis, akademik, dan perkembangan anak secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk menguatkan anak autis.
Menguatkan anak autis di tengah ancaman bullying membutuhkan pendekatan yang lembut, konsisten dan terarah karena mereka sering kali tidak memahami dinamika sosial yang membuat mereka rentan menjadi target dan korban. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menguatkan anak autis agar tidak menjadi korban bullying.
Bangun Rasa Aman dan Percaya Diri pada Anak
Anak autis perlu tahu bahwa dirinya dicintai, diterima, dan aman. Beri dukungan emosional tanpa menghakimi, dan dengarkan perasaan mereka, tanpa memaksa mereka untuk bicara! Gunakan pujian yang konkret, misalnya: “Kamu berani cerita, itu hebat sekali”! Ini berguna untuk memperkuat rasa mampu pada diri anak. Ciptakanlah lingkungan rumah dan sekolah yang tenang dan konsisten, agar anak tahu ada tempat berlindung dari stres sosial!
Ajarkan Pemahaman tentang Bullying
Gunakan cerita bergambar, role play, atau video sosial untuk membantu anak memahami apa itu bullying dan bentuk-bentuknya (verbal, fisik, sosial, daring)! Tanamkan pada anak bahwa tidak ada orang yang pantas diperlakukan dengan buruk, termasuk dirinya! Jelaskan juga pada anak bahwa jika bullying terjadi, itu bukan salah mereka! Contoh: “Kalau ada teman yang mengejekmu, itu bukan karena kamu aneh, tapi karena teman itu belum belajar menghormati perbedaan.”
Latih Respons Sosial yang Aman
Ajari anak cara merespons situasi bullying dengan langkah-langkah sederhana dan berulang! Misalnya: menjauh dengan tenang dari situasi berisiko; mencari bantuan dari guru, teman tepercaya, orang tua atau orang dewasa; serta menggunakan kalimat pendek untuk membela diri tanpa memicu konflik, misalnya: “Berhenti. Aku tidak suka itu.” atau “Aku mau pergi sekarang.” Latihan ini bisa dilakukan dengan permainan peran (role play) agar menjadi kebiasaan yang otomatis.
Kembangkan Keterampilan Sosial dan Emosional
Bullying sering terjadi karena orang menyalahartikan kesulitan anak autis dalam keterampilan sosial dan emosial. Oleh karena itu, mereka dapat dikuatkan dengan: pelatihan keterampilan sosial; terapi okupasi dan terapi wicara untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan interaksi; dan terapi bermain (play therapy) untuk belajar mengelola emosi.
Melibatkan Sekolah secara Aktif
Sekolah harus menjadi tempat aman, bukan sumber stres. Laporkan kasus bullying dengan catatan jelas tentang kapan, di mana, dan oleh siapa! Mintalah sekolah untuk membuat Rencana Perlindungan Individual (Individual Safety Plan atau Individual Protection Plan), yaitu dokumen atau strategi tertulis yang dirancang khusus untuk melindungi seorang anak. terutama anak yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak autis, dari risiko seperti bullying, kekerasan, pelecehan, atau perlakuan diskriminatif di lingkungan sekolah! Dorong guru teman sekolah untuk belajar empati dan inklusivitas terhadap anak autis!
Bangun Jaringan Dukungan
Orang tua, guru, konselor, dan komunitas autisme perlu bekerja sama. Anak autis akan merasa lebih kuat bila tahu ada orang-orang yang berpihak pada dirinya. Dorong anak untuk bergabung dalam komunitas positif atau kegiatan sesuai minatnya! Di sana ia bisa menemukan teman yang menerimanya tanpa mempermasalahkan kondisinya.
Tanamkan Nilai Diri dan Kebanggaan atas Keunikan Dirinya
Tolong bantu anak untuk melihat autismenya bukan sebagai kekurangan, melainkan bagian dari dirinya yang unik dan berharga! Katakan dengan lembut: “Kamu berbeda, tapi itu bukan berarti salah. Kamu istimewa dan berharga Nak. Dunia butuh orang-orang yang berpikir dan merasakan seperti kamu.”!
Menguatkan anak autis di tengah ancaman bullying bukan sekadar mengajarkan mereka bertahan, tetapi menumbuhkan rasa berharga, berani, dan percaya diri untuk tetap menjadi diri sendiri. Dengan dukungan keluarga, sekolah, dan komunitas yang peduli, anak autis bisa tumbuh menjadi pribadi tangguh dan mampu berkata: “Aku boleh berbeda, tapi aku berharga.” (SRP)
